Sabtu, 07 Juni 2008

Tempayan dan Kisah Tiga Sahabat dalam Sebuah Pameran


From today , painting is dead” inilah pernyataan spontas Paul Delaroche, ketika pertama kali melihat daguerrotype, proses yang sekarang di kenal sebagai foto, 1839. Dunia seni lukis Eropa memang terguncang ketika di temukan sebuah alat yang dapat merepresentasikan realitas dengan ketepatan dan detail yang tidak dapat di tandingi kemampuan tangan manusia. Itulah Fotografi, namun lebih dari pada sekedar menggantikan fungsi dalam merekam dunia luar, fotografi kemudian juga mengubah cara pandang orang (termasuk pelukis) atas realitas.

Ironisnya, gerakan awal dalam fotogarfi , piktorialisme, justru berusaha mengejar pencapaian-pencapaian visual seni lukis dalam usahanya mengangkat diri untuk masuk ke dunia seni. Alih-alih membangun estetiknya sendiri. Kaum piktorialis ini malah sibuk mencoba berbagai manipulasi dalam kamar gelap untuk meniru efek-efek yang di capai seni lukis.

Memang fotografi kemudian berhasil membangun diri sebagai medium ekspresi yang estetis (seni) dan meninggalkan fungsi dokumentasi yang semata teknis. Namun pada perkembagannya, seni rupa juga mulai menggunakan fotogarfi sebagai bagaian dari ekspresinya. Dari sini kita bisa sedikit membayangkan bagaimana kerumitan dan tarik ulur fotografi sebagai medium ekspresi ketika berhadapan dengan seni lukis, dan tantangan baru yang di hadapi seni lukis ketika wilayahnya dalam menyalin realitas di ambil alih fotografi dengan lebih meyakinkan.

Sedikit latar dia atas, menyandingkan lukisan dan foto dalam sebuah pameran bersama, menjadi perkara yang tidak sederhana. Kerumitan bersejarah panjang inilah yang berusaha didedah pelukis hanafi, 44, dan fotografer Rama Surya, 34. dalam pameran bersama bertajuk Hotplate di galery Taksu, Jakarta. Yang di buka kamis 5 Agustus lalu. Kedua perupa yang sama-sama menggarap visual dua dimensi namun dengan medium yang berbeda ini, mengajak seorang penulis Hasif Amini,34. untuk turut menyelesaikan kerumitan tersebut. Bertiga mereka memilih cara yang personal.

Bila memasuki ruang pameran Galeri mewah di jalan Kemang Barat 5-7 jakarta Selatan itu. Anda akan di bawa pada sebuah kisah tentang persahabatan antara tiga orang pemuda, yang satu lajang dan dua sisanya sudah berkeluarga. Persahabatan yang berusaha di kisahkan melalui pengalaman personal; masing-masing dari mereka, seturut keseharian yang mereka geluti.

Dua puluhan karya abstrak berukuran di atas satu meter persegi gubahan hanafi adalah ode untuk sebuah tempayan (karena itulah judul hotplate di pilih). Semacam ucapan terima kasih pada penggorengan kecil dan tebal tempat hanafi selama sepuluh tahun membasuh kuas dan rolnya saat melukis. Sebuah alat masak tradisional yang bis ajadi adalah pncatata paling lengkap pejalanan kreatifnya selama sepuluh athun ini dalam fungsinya sebagai baskon pembasuh.

Jadilah tempayan itu memenuhi sebagian besar bidang kanvass. Dalam guratan dan sapuan warna ganjil yang harmonis. Apalagi yang di perlukan untuk sebuah ekspresi saling hubungan emosi, itupun untuk sebuah tempayan. Namun, tempayan itu selalu saja ada bagian yang terpotong. Dia tak pernah hadir utuh, seperti ketidak utuhan fungsi yang sebenarnya di tunjukan pada benda itu. Seolah menyisakan pada kita pemirsa untuk menyelesaikan nya sendiri. Sedangkan bagi hanafi, itulah perlambang keberlanjutan perjalanan kreatifnya walau sang tempayan telah berhenti menjalankan tugas.

Mungkin hanafi terlalu romantis, malah mungkin yang picisan terhadap sebuah tempayan, namun coba bayangkan kalau kuas dan rol dapat silih berganti, juga kawan maupun lawan, tetapi dalam sepuluh athun itu, si tempayan tetap ada di situ. Menjalin keakraban fana yang suatu saat pasti akan di akhiri oelh sang pengguna. Tempayan itu menjadi bagian terkecil yang tidak penting karena setiap saat bisa tergantikan , karena itu tidak begitu di perhatikan. Justru oleh sebab inilah ia bisa bertahan di situ, nalah berhasil membangun keterikatan emosional dengan makhluk berakal budi yang selama ini menggunakannya. Dan kini setelah usai, dia menjadi pintu memori dari apa yang sudah terjadi.

Lalu, Rama Surya, fotografer yang selama ini bergelut dan memainkan drama dengan hitam putih foto-fotonya, bergerak mentranspormasi nilai penting si tempayan itu bagi sahabatnya. Hanafi, kedalam ruang yang lebih personal lagi, yaitu kelahiran anaknya. Jabang bayi yang masih merah itu menjadi model di atas tempayan sebagai objek still life kamera digitalnya. Walau ada kain putih (bayi berusia lima menit ,2004) dan hijau ( bayi berusia 5 hari, 2004) disana. Namum mereka lebih tampak sebagai elemen visual dari pada pelindung. Menjadi bagian dari penarian bentuk dan komposisi seorang fotografer.

Dua karya tersebut, terutama bayi berusia 5 hari menurut saya berhasil secara bentuk, komposisi, dan pencahayaan karena kesederhanaan. Tidak ada presentasi Rama untuk mendramatisasi suasana dengan bermain lampu, misalnya. Pilihan rama tepat ketiak mengahadirkan apa adanya, terang, tajam, fokus, dan jelas.

Rama, bisa jadi di-cerca karena mengeksploitasi anaknya sendiri. Apalagi dengan presentasi (display) neonbox itu. Tapi, itulah labirin tipis antara fotogafi atas kemampuannya membekukan ruang dan waktu. Pembekuan yangh dapat dihadirkan kembali dengan konteks yang berbeda-beda. labirin yang terlalau mudah untuk di terabas. Dalam pokok semacam ini, intergrasi fotografer hanya dapat di lihat dari konsistensi karya-karyanya. Menghadirkan detik-detik kelahiran pastilah bukan hal yang baru dalam fotografi. Hampir semua fotografer (laki-laki)selalu berusaha merekam saat-sat kelahiran anak mereka. Momen privat ini seperti menjadi petaruhan atau uji coba bagi seorang fotografer atas kemampuan teknis di tengah situasi sangat emosional dan tegang. Namun seberapa jauh kita bisa dan / boleh berjalan.

Apalagi di sini Rama bergerak selangkah lebih jauh. Dia juga melibatkan persahabatannya dengan hanafi dalam wujud tempayan. Menambahkan bobot emosional pada foto ini. Setelah emosi dirinya dengan sang istri dan anaknya, di tambah dengan emosi persahantannya dengan hanafi, itu pun terpersonipikasi dalam wujud tempayan. Saya jadi selalu membayangkan beberapa tahap abstraksi emosional yang di lalui Rama pada momen seintim itu

Penghargaan Rama atas arti penting tempayan bagi hanafi, di wujudkan dengan menghadirkan tempayan itu secara utuh dan berada di pusat bidang gambar foto. Kalau tempayan itu berfungsi sebagai bagian kecil namun intim dari kelahiran anaknya, tempat pertama yang di singgahi satelah kandungan Ibu. Setelah itu Rama melanjutkan eksplorasinya atas tempayan itu. Menmjadikannya sebagai landasan (dalam arti denotif dankonotatif) dari ungkapan-ungkapan simboliknya atas kehidupan : tumpeng, cabai merah, beras bertuliskan Tuhan dalam bahasa Arab, anak ayan warna-warni, sampai kondom, dan jarum suntik yang terinfeksi virus HIV.

Namum demikian, dari 15 foto (masing-masing berukuran 40x40 cm), dua foto (130x120 cm) dan satu foto ( 60x60 cm) tidak semuanya berhasil secara visual dalam membangun bentuk dan mengatur komposisi. Kegagalan itu tampak pada foto yang menampakan tumpeng dalam tempayan (Tumpeng 2004) dan otak sapi di atas tumpukan pil dan kapsul obat di dalam tempayan (Brain Destroyer 2004).

Bahkan pada fotonya yang memunculkan wajah empat calon presiden, megawati, Wiranto, Amien Rais, SBY di dalam tempayan, (Demokrasi 2004) Rama gagal memilih metafora yang cerdas dan terjebak dalam klise, ketika memilih busa sabun dari pada api atai minyak goreng. Mungkinm rama terlalu santun dan kurang liar mengolah imaginasi. Padahal Rama sudah tepat memilih presentasi backlight (cahaya dari belakang) dengan neonbox). Sebab dengan demikian Rama menjaga konsistensi kualitas foto dari yang diacunya pada layar kamera digital, yang juga mendapat cahaya dari belakang itu.

Pada ujungnya, dialog kedua perupa itu, di rangkai oleh Hasif Amini dalam sebuah surat pada hanafi. Sebuah surat ynag menjadi semacam pengantar kuratorial dalam bentuknya ynag personal dan intim yang bertabiran lanturan kesana-kemari. Surat yang di penuhi inisial-inisial nama yang seolah menyembunyikan identitas dari sososk yang terlibat langsung dalam lingkaran kawan persahabatan ini. Sebuah pilihan yang agak canggnung sebenarnya, berparadoks dari keseluruhan semangat pameran yang sudah jelas personal. Kalaupun pilihan iisial itu adakah bagian dari gaya penulisan. Yang tinggal tersisa kegenitan semata, yang malah jadi tidak produktif.

Surat itu di guratkan selebar dinding, di tampilkan sebagai visual yang mejadi bagian dari pameran. Surat yang di jawab singkat oleh hanafi itu. Tidak hanya mau memberikan penjelasan verbal pada pemirsa tentang “mengapa tempayan”. Tapi lebih dari itu, surat itulah yang merangkai kan ketiganya dalam pameran ini. Surat pula lah yang menjadi pernyataan dari usaha penyelesaian kerumitan diatas. Kerumitan dalam medan presenatsi atas dunia dan wujud dua dimensional.

Tidak ada komentar: