Senin, 09 Juni 2008

Evolusi Indie di Indonesia


Pada awalnya, ruang lingkup musik indie hanya sebatas musik-musik keras (dulu lebih lazim disebut "Underground"), seperti metal, punk rock dan turunan dari keduanya. Tapi maksud dari underground sendiri bukan cuma pergerakan dari musisi-musisi "cadas" tersebut. Musik pop pun bila belum masuk major label bisa dibilang sebagai musik underground, karena (mungkin) salah satu alasan mereka tidak memasuki mainstream adalah untuk mencari media yang memungkinkan mereka bebas berekspresi tanpa ada campur tangan perusahaan rekaman yang biasanya mengubah ekspresi si band tersebut. Konon, pengekangan dan pengaturan perusahaan rekaman membuat banyak band-band merasa dibatasi secara kreatif. Hal itulah yang mendasari mereka untuk membuat album dan jalur distribusinya sendiri atau disebut independen, yang secara harafiah berarti tidak tergantung atau mandiri, baik secara finansial maupun distribusional.

Pada awal kemunculannya band-band indie banyak mengalami kesulitan dalam distribusi dan promosi. Namun setelah menjamurnya kemunculan distro di kota -kota besar, band-band indie sangat terbantu dalam hal distribusi dan promosi. Distro kependekan dari distribution outlet, yang pada awalnya hanya menjual hal-hal yang berbau musik-musik langka impor, mulai turut berperan dalam penyebaran album dan merchandise band-band indie dalam negeri. Seiring perkembangan jaman dan tren local clothing, saat ini distro juga menjual macam-macam pakaian dan asesoris yang biasa dipakai oleh loyalis musik musik indie dengan brand lokal yang tidak kalah dengan brand luar negeri.

Lain dulu, lain sekarang. Penggemar musik indie di Indonesia yang semula hanya terbatas pada komunitas-komunitas tertentu dan biasanya hanya ada di kota kota besar, kini makin menyebar ke penjuru Indonesia. Internet telah menjadi alat bantu penting dalam proses sosialisasi pergerakan ini. Kini banyak orang di daerah juga tahu musik-musik indie, bahkan sampai ada yang fanatik terhadap salah satu band indie hingga rela melakukan perjalanan lintas pulau (bahkan lintas Negara) untuk menyaksikan show band kesukaannya.

Band-band indie lahir dengan pesat di Indonesia. Bisa dilihat dari seringnya band-band "kecil" ini tampil di gigs rutin dan justru menjadi raja pensi di Ibukota dan kota lainnya, mengalahkan nama-nama yang disokong oleh nama besar sebuah perusahaan rekaman. Banyaknya peminat musik indie membuat beberapa major label "mencomot" mereka untuk kemudian merilis albumnya dalam skala besar. Sebut saja Pas band, Burgerkill, Superman Is Dead, Rocket Rockers dan lain-lain. Banyak band-band indie yang tetap di jalur indie namun tidak kalah populer dengan band-band major label. Sebut saja Mocca yang sudah memenangkan beberapa award di MTV dan sempat menjadi MTV Artist Exclusive, MTV Gress Artist of the Month, membuat duet dengan Club 8 dari Swedia, juga menembus angka penjualan yang fantastis untuk ukuran "indie". Tidak terlalu mendalam dan spesifik, memang. Ini hanyalah sebuah pengantar, karena scene ini masih terus bergerak maju dan berkembang. Semoga bisa memberikan sedikit gambaran bagi mereka yang membutuhkan.

Sabtu, 07 Juni 2008

Kekuasaan Komunikasi Massa

Saat ini, begitu gencarnya pemberitaan tentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebagai khalayak media massa kita "digempur" oleh kemasan pesan yang pro dan kontra. Media massa mengagendakan isu tersebut. Langsung atau tidak langsung khalayak telah menjadi "obyek" agenda media.

Menjadi pertanyaan, siapa pengendali isi media massa, sehingga menjadi berpihak? Pertanyaan berikutnya, bisakah media massa netral dalam menyikapi isu tertentu? Tulisan ini mencoba mengungkapkan hal itu dari perspektif kajian komunikasi massa.

Media massa mempunyai peran strategis dalam tatanan masyarakat. Media massa mampu membentuk suatu struktur masyarakat tertentu, mendukung suatu ideologi atau ajaran tertentu. Proposisi ini dapat kita lihat dari fenomena gencarnya penyajian berita kenaikan harga BBM. Media sebagai suatu institusi sosial memiliki kepentingan tertentu, yang terkandung dalam visi dan misi pendiriannya. Visi dan misi ini menentukan cara pandang dalam mengumpulkan, mengolah, dan mengungkapkan fakta atau pendapat dari sumber yang dikomunikasikan kepada khalayak.

Dengan demikian, media hanyalah sebagai alat mengonstruksi kepentingan tertentu untuk melegitimasi kekuasaan, baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya maupun religius. Dari semua legitimasi kekuasaan tersebut, yang paling tampak dalam bidang politik serta ekonomi.



Alat Kekuasaan

Kenyataan menunjukkan, media sering menjadi alat kekuasaan penguasa atau pengusaha. Oleh penguasa, media digunakan sebagai alat propaganda, penetrasi budaya, dan sosialisasi tentang penyelenggaraan kekuasaan politik, sehingga tidak heran kerja sama kepentingan politik sering terjadi antara elite politik dengan organisasi kepemilikan media massa. Kolaborasi ini untuk membangun struktur masyarakat, sebagaimana yang mereka inginkan dalam rangka melanggengkan kekuasaan.

Kenyataan ini terjadi di seluruh dunia. Hanya perwujudannya berbeda. Di negara otoriter atau junta militer kegiatan media massa di bawah "todongan senjata". Sedangkan di negara demokratis pemilik media massa turut serta dalam penentuan kebijakan kekuasaan politik. Di Indonesia, misalnya, saat ini terjadi kolaborasi antara penyelenggara kekuasaan politik dengan pemilik media, sehingga tidak heran jika pemilik media massa menjadi pengurus partai politik tertentu. Bahkan pemilik media massa juga memegang kekuasaan politik, seperti menteri. Selain itu, media massa boleh menjadi pendukung suatu partai atau kandidat pemegang kekuasaan politik. Pesan yang disajikan cenderung menumbuhkan citra positif dari program partai atau kandidat.

Dalam konteks komunikasi hal ini dikenal sebagai agenda setting. Media massa punya agenda tertentu dalam menyajikan pesan, baik dari sudut kuantitatif yaitu frekuensi dan durasi pemuatan, maupun dari sudut kualitatif, seperti, pendalaman dan penekanan materi pesan.

Dalam bidang kekuasaan ekonomi, boleh jadi pengusaha mengelola media massa dengan prinsip bisnis semata. Bagi pengusaha, media massa digunakan untuk mencari keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, institusi media dikelola dengan prinsip bisnis. Pada situasi ini, media massa dijalankan berlandaskan hukum ekonomi, yakni pengeluaran sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan mungkin mengesampingkan tanggung jawab sosial. Efisiensi menjadi suatu hal mutlak. Perhitungan antara pengeluaran dan pemasukan menjadi hal utama dan dilakukan secara ketat dalam penyajian pesan komunikasi massa. Misalnya, keputusan jadi-tidaknya suatu program acara diproduksi dan disiarkan di televisi sangat bergantung pada perhitungan rating acara tersebut. Semakin tinggi rating acara itu semakin terus diproduksi dan disiarkan. Oleh sebab itu, program acara yang rating-nya tinggi, sekalipun berakibat sebagai disfungsi media massa, tetap disiarkan untuk tujuan perolehan pendapatan melalui iklan. Melihat media massa sebagai sumber ekonomi, maka bisa saja terjadi perpindahan pemilikan modal dari investor yang satu ke investor yang lain. Industri media massa menjadi objek bagi investor dalam pasar modal.

Selain itu, pesan komunikasi massa secara tidak langsung dapat bertujuan ekonomi bagi penyelenggara media. Pemberitaan dalam bentuk investigasi, yang tampaknya idealis untuk membongkar struktur deviasi sosial, dapat menghasilkan iklan karena rating-nya tinggi.



Sulit Netral

Berdasarkan kepentingan pengendali kekuasaan tersebut amat sulit bagi media massa berperan netral mengungkapkan suatu peristiwa atau pendapat kepada khalayaknya. Media massa adalah sebuah alat. Sebagai alat ia pasti netral. Artinya, dapat digunakan sesuai yang diinginkan oleh yang mengendalikan alat tersebut, yaitu manusia atau organisasi manusia. Secara mendasar manusia tidak pernah obyektif secara penuh. Ia pasti berpihak pada kerangka pengetahuan dan pengalamannya, yang pada gilirannya menentukan kepentingannya. Seperti kata orang bijak the man behind the gun.

Banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang saratnya kepentingan dalam pesan komunikasi massa. Hitler menggunakan radio sebagai alat membakar semangat pasukan Jerman bertempur menghadapi tentara sekutu pada Perang Dunia II. Di Amerika Serikat, pernah dibuat suatu program radio yang mendorong semangat tempur pasukan negara itu di Vietnam. Di Indonesia, dikenal adanya pers perjuangan yang menentang penjajahan.

Terlepas dari pro dan kontra, teori kultivasi mengemukakan bahwa realitas televisi dianggap sebagai realitas yang sesungguhnya. Kejadian yang disajikan televisi dianggap sebagai representasi keadaan sesungguhnya di masyarakat. Hal ini pernah dialami oleh Indonesia menjelang runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Media massa dalam dan luar negeri mem-blow up tentang ketidakamanan di Jakarta, khususnya di wilayah Gedung DPR. Dari sajian media tersebut seolah-olah seluruh wilayah Jakarta sudah tidak aman. Padahal, pada saat itu di beberapa wilayah, bahkan sebagian besar wilayah, Jakarta masih aman.

Kemampuan lain media massa adalah menimbulkan efek langsung dan tidak langsung. Informasi kemacetan jalan yang disiarkan oleh stasiun radio, misalnya, dapat membuat pengemudi kendaraan mengambil jalur lain. Berbagai program acara atau rubrik yang disajikan media massa mampu membawa khalayak pada kondisi yang "terserang" oleh "peluru" yang disajikan itu. Namun, yang paling penting adalah efek tidak langsung, sesuatu yang terasa perlahan, namun pasti. Khalayak tidak sadar bahwa perilaku kesehariannya adalah proses peniruan (social learning) secara perlahan dari sajian pesan media massa.

Perilaku itu layak dilakukan karena sudah kebiasaan yang dilihat pada media massa dan didukung proses internalisasi dalam masyarakat. Dalam keadaan semacam ini telah terjadi proses penetrasi budaya tertentu, tanpa berpikir apakah itu sesuai dengan nilai yang dianut sebelumnya. Ini dapat kita lihat pada perilaku sosial terhadap mode pakaian atau rambut. Dengan penetrasi nilai melalui media, secara perlahan, namun pasti masyarakat tergiring pada pola nilai baru.

Dengan demikian, siapa yang mengendalikan pesan media massa dapat pula mengendalikan opini publik. Siapa yang mengendalikan opini publik dia pun akan memiliki kekuasaan. Hal ini berlaku dalam satu negara, hubungan bilateral, dan hubungan internasional atau global. Khusus pada hubungan global, pengendalian media massa sangat penting untuk menanamkan pengaruh global pada berbagai sektor kehidupan. Negara yang memiliki pengaruh global akan menikmati kekayaan dunia lebih besar dibanding dengan negara yang tidak memiliki pengaruh global

Tempayan dan Kisah Tiga Sahabat dalam Sebuah Pameran


From today , painting is dead” inilah pernyataan spontas Paul Delaroche, ketika pertama kali melihat daguerrotype, proses yang sekarang di kenal sebagai foto, 1839. Dunia seni lukis Eropa memang terguncang ketika di temukan sebuah alat yang dapat merepresentasikan realitas dengan ketepatan dan detail yang tidak dapat di tandingi kemampuan tangan manusia. Itulah Fotografi, namun lebih dari pada sekedar menggantikan fungsi dalam merekam dunia luar, fotografi kemudian juga mengubah cara pandang orang (termasuk pelukis) atas realitas.

Ironisnya, gerakan awal dalam fotogarfi , piktorialisme, justru berusaha mengejar pencapaian-pencapaian visual seni lukis dalam usahanya mengangkat diri untuk masuk ke dunia seni. Alih-alih membangun estetiknya sendiri. Kaum piktorialis ini malah sibuk mencoba berbagai manipulasi dalam kamar gelap untuk meniru efek-efek yang di capai seni lukis.

Memang fotografi kemudian berhasil membangun diri sebagai medium ekspresi yang estetis (seni) dan meninggalkan fungsi dokumentasi yang semata teknis. Namun pada perkembagannya, seni rupa juga mulai menggunakan fotogarfi sebagai bagaian dari ekspresinya. Dari sini kita bisa sedikit membayangkan bagaimana kerumitan dan tarik ulur fotografi sebagai medium ekspresi ketika berhadapan dengan seni lukis, dan tantangan baru yang di hadapi seni lukis ketika wilayahnya dalam menyalin realitas di ambil alih fotografi dengan lebih meyakinkan.

Sedikit latar dia atas, menyandingkan lukisan dan foto dalam sebuah pameran bersama, menjadi perkara yang tidak sederhana. Kerumitan bersejarah panjang inilah yang berusaha didedah pelukis hanafi, 44, dan fotografer Rama Surya, 34. dalam pameran bersama bertajuk Hotplate di galery Taksu, Jakarta. Yang di buka kamis 5 Agustus lalu. Kedua perupa yang sama-sama menggarap visual dua dimensi namun dengan medium yang berbeda ini, mengajak seorang penulis Hasif Amini,34. untuk turut menyelesaikan kerumitan tersebut. Bertiga mereka memilih cara yang personal.

Bila memasuki ruang pameran Galeri mewah di jalan Kemang Barat 5-7 jakarta Selatan itu. Anda akan di bawa pada sebuah kisah tentang persahabatan antara tiga orang pemuda, yang satu lajang dan dua sisanya sudah berkeluarga. Persahabatan yang berusaha di kisahkan melalui pengalaman personal; masing-masing dari mereka, seturut keseharian yang mereka geluti.

Dua puluhan karya abstrak berukuran di atas satu meter persegi gubahan hanafi adalah ode untuk sebuah tempayan (karena itulah judul hotplate di pilih). Semacam ucapan terima kasih pada penggorengan kecil dan tebal tempat hanafi selama sepuluh tahun membasuh kuas dan rolnya saat melukis. Sebuah alat masak tradisional yang bis ajadi adalah pncatata paling lengkap pejalanan kreatifnya selama sepuluh athun ini dalam fungsinya sebagai baskon pembasuh.

Jadilah tempayan itu memenuhi sebagian besar bidang kanvass. Dalam guratan dan sapuan warna ganjil yang harmonis. Apalagi yang di perlukan untuk sebuah ekspresi saling hubungan emosi, itupun untuk sebuah tempayan. Namun, tempayan itu selalu saja ada bagian yang terpotong. Dia tak pernah hadir utuh, seperti ketidak utuhan fungsi yang sebenarnya di tunjukan pada benda itu. Seolah menyisakan pada kita pemirsa untuk menyelesaikan nya sendiri. Sedangkan bagi hanafi, itulah perlambang keberlanjutan perjalanan kreatifnya walau sang tempayan telah berhenti menjalankan tugas.

Mungkin hanafi terlalu romantis, malah mungkin yang picisan terhadap sebuah tempayan, namun coba bayangkan kalau kuas dan rol dapat silih berganti, juga kawan maupun lawan, tetapi dalam sepuluh athun itu, si tempayan tetap ada di situ. Menjalin keakraban fana yang suatu saat pasti akan di akhiri oelh sang pengguna. Tempayan itu menjadi bagian terkecil yang tidak penting karena setiap saat bisa tergantikan , karena itu tidak begitu di perhatikan. Justru oleh sebab inilah ia bisa bertahan di situ, nalah berhasil membangun keterikatan emosional dengan makhluk berakal budi yang selama ini menggunakannya. Dan kini setelah usai, dia menjadi pintu memori dari apa yang sudah terjadi.

Lalu, Rama Surya, fotografer yang selama ini bergelut dan memainkan drama dengan hitam putih foto-fotonya, bergerak mentranspormasi nilai penting si tempayan itu bagi sahabatnya. Hanafi, kedalam ruang yang lebih personal lagi, yaitu kelahiran anaknya. Jabang bayi yang masih merah itu menjadi model di atas tempayan sebagai objek still life kamera digitalnya. Walau ada kain putih (bayi berusia lima menit ,2004) dan hijau ( bayi berusia 5 hari, 2004) disana. Namum mereka lebih tampak sebagai elemen visual dari pada pelindung. Menjadi bagian dari penarian bentuk dan komposisi seorang fotografer.

Dua karya tersebut, terutama bayi berusia 5 hari menurut saya berhasil secara bentuk, komposisi, dan pencahayaan karena kesederhanaan. Tidak ada presentasi Rama untuk mendramatisasi suasana dengan bermain lampu, misalnya. Pilihan rama tepat ketiak mengahadirkan apa adanya, terang, tajam, fokus, dan jelas.

Rama, bisa jadi di-cerca karena mengeksploitasi anaknya sendiri. Apalagi dengan presentasi (display) neonbox itu. Tapi, itulah labirin tipis antara fotogafi atas kemampuannya membekukan ruang dan waktu. Pembekuan yangh dapat dihadirkan kembali dengan konteks yang berbeda-beda. labirin yang terlalau mudah untuk di terabas. Dalam pokok semacam ini, intergrasi fotografer hanya dapat di lihat dari konsistensi karya-karyanya. Menghadirkan detik-detik kelahiran pastilah bukan hal yang baru dalam fotografi. Hampir semua fotografer (laki-laki)selalu berusaha merekam saat-sat kelahiran anak mereka. Momen privat ini seperti menjadi petaruhan atau uji coba bagi seorang fotografer atas kemampuan teknis di tengah situasi sangat emosional dan tegang. Namun seberapa jauh kita bisa dan / boleh berjalan.

Apalagi di sini Rama bergerak selangkah lebih jauh. Dia juga melibatkan persahabatannya dengan hanafi dalam wujud tempayan. Menambahkan bobot emosional pada foto ini. Setelah emosi dirinya dengan sang istri dan anaknya, di tambah dengan emosi persahantannya dengan hanafi, itu pun terpersonipikasi dalam wujud tempayan. Saya jadi selalu membayangkan beberapa tahap abstraksi emosional yang di lalui Rama pada momen seintim itu

Penghargaan Rama atas arti penting tempayan bagi hanafi, di wujudkan dengan menghadirkan tempayan itu secara utuh dan berada di pusat bidang gambar foto. Kalau tempayan itu berfungsi sebagai bagian kecil namun intim dari kelahiran anaknya, tempat pertama yang di singgahi satelah kandungan Ibu. Setelah itu Rama melanjutkan eksplorasinya atas tempayan itu. Menmjadikannya sebagai landasan (dalam arti denotif dankonotatif) dari ungkapan-ungkapan simboliknya atas kehidupan : tumpeng, cabai merah, beras bertuliskan Tuhan dalam bahasa Arab, anak ayan warna-warni, sampai kondom, dan jarum suntik yang terinfeksi virus HIV.

Namum demikian, dari 15 foto (masing-masing berukuran 40x40 cm), dua foto (130x120 cm) dan satu foto ( 60x60 cm) tidak semuanya berhasil secara visual dalam membangun bentuk dan mengatur komposisi. Kegagalan itu tampak pada foto yang menampakan tumpeng dalam tempayan (Tumpeng 2004) dan otak sapi di atas tumpukan pil dan kapsul obat di dalam tempayan (Brain Destroyer 2004).

Bahkan pada fotonya yang memunculkan wajah empat calon presiden, megawati, Wiranto, Amien Rais, SBY di dalam tempayan, (Demokrasi 2004) Rama gagal memilih metafora yang cerdas dan terjebak dalam klise, ketika memilih busa sabun dari pada api atai minyak goreng. Mungkinm rama terlalu santun dan kurang liar mengolah imaginasi. Padahal Rama sudah tepat memilih presentasi backlight (cahaya dari belakang) dengan neonbox). Sebab dengan demikian Rama menjaga konsistensi kualitas foto dari yang diacunya pada layar kamera digital, yang juga mendapat cahaya dari belakang itu.

Pada ujungnya, dialog kedua perupa itu, di rangkai oleh Hasif Amini dalam sebuah surat pada hanafi. Sebuah surat ynag menjadi semacam pengantar kuratorial dalam bentuknya ynag personal dan intim yang bertabiran lanturan kesana-kemari. Surat yang di penuhi inisial-inisial nama yang seolah menyembunyikan identitas dari sososk yang terlibat langsung dalam lingkaran kawan persahabatan ini. Sebuah pilihan yang agak canggnung sebenarnya, berparadoks dari keseluruhan semangat pameran yang sudah jelas personal. Kalaupun pilihan iisial itu adakah bagian dari gaya penulisan. Yang tinggal tersisa kegenitan semata, yang malah jadi tidak produktif.

Surat itu di guratkan selebar dinding, di tampilkan sebagai visual yang mejadi bagian dari pameran. Surat yang di jawab singkat oleh hanafi itu. Tidak hanya mau memberikan penjelasan verbal pada pemirsa tentang “mengapa tempayan”. Tapi lebih dari itu, surat itulah yang merangkai kan ketiganya dalam pameran ini. Surat pula lah yang menjadi pernyataan dari usaha penyelesaian kerumitan diatas. Kerumitan dalam medan presenatsi atas dunia dan wujud dua dimensional.

Jumat, 06 Juni 2008

Etika Profesi Wartawan

WARTAWAN adalah sebuah profesi. Dengan kata lain, wartawan adalah seorang profesional, seperti halnya dokter, bidan, guru, atau pengacara. Sebuah pekerjaan bisa disebut sebagai profesi jika memiliki empat hal berikut, sebagaimana dikemukakan seorang sarjana India, Dr. Lakshamana Rao:

1. Harus terdapat kebebasan dalam pekerjaan tadi.

2. Harus ada panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan itu.

3. Harus ada keahlian (expertise).

4. Harus ada tanggung jawab yang terikat pada kode etik pekerjaan. (Assegaf, 1987).

Menurut saya, wartawan (Indonesia) sudah memenuhi keempat kriteria profesioal tersebut.

1. Wartawan memiliki kebebasan yang disebut kebebasan pers, yakni kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. UU No. 40/1999 tentang Pers menyebutkan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2). Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau dena maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1).

Meskipun demikian, kebebasan di sini dibatasi dengan kewajiban menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1).

Memang, sebagai tambahan, pada prakteknya, kebebasan pers sebagaimana dipelopori para penggagas Libertarian Press pada akhirnya lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal atau owner media massa. Akibatnya, para jurnalis dan penulisnya harus tunduk pada kepentingan pemilik atau setidaknya pada visi, misi, dan rubrikasi media tersebut. Sebuah koran di Bandung bahkan sering “mengebiri” kreativitas wartawannya sendiri selain mem-black list sejumlah penulis yang tidak disukainya.

2. Jam kerja wartawan adalah 24 jam sehari karena peristiwa yang harus diliputnya sering tidak terduga dan bisa terjadi kapan saja. Sebagai seorang profesional, wartawan harus terjun ke lapangan meliputnya. Itulah panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan sebagai wartawan. Bahkan, wartawan kadang-kadang harus bekerja dalam keadaan bahaya. Mereka ingin –dan harus begitu– menjadi orang pertama dalam mendapatkan berita dan mengenali para pemimpin dan orang-orang ternama.

3. Wartawan memiliki keahlian tertentu, yakni keahlian mencari, meliput, dan menulis berita, termasuk keahlian dalam berbahasa tulisan dan Bahasa Jurnalistik.

4. Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik (Pasal 7 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers). Dalam penjelasan disebutkan, yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik adalah Kode Etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.

Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pertama kali dikeluarkan dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). KEJ itu antara lain menetapkan.

1. Berita diperoleh dengan cara yang jujur.

2. Meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkan (check and recheck).

3. Sebisanya membedakan antara kejadian (fact) dan pendapat (opinion).

4. Menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak mau disebut namanya. Dalam hal ini, seorang wartawan tidak boleh memberi tahu di mana ia mendapat beritanya jika orang yang memberikannya memintanya untuk merahasiakannya.

5. Tidak memberitakan keterangan yang diberikan secara off the record (for your eyes only).

6. Dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu suratkabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi.

Ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi banyak. Maka, KEJ pun hanya “berlaku” bagi wartawan yang menjadi anggota PWI. Namun demikian, organisasi wartawan yang muncul selain PWI pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan menandatangani Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Sebagian besar isinya mirip dengan KEJ PWI. KEWI berintikan tujuh hal sebagai berikut:

1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.

2. Wartawan Indonesia menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.

3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.

4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.

5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.

6. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan.

7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.

KEWI kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan Pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.

Penetapan Kode Etik itu guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat. Kode Etik harus menjadi landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan. Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.

KEWI harus mendapat perhatian penuh dari semua wartawan. Hal itu jika memang benar-benar ingin menegakkan citra dan posisi wartawan sebagai “kaum profesional”. Paling tidak, KEWI itu diawasi secara internal oleh pemilik atau manajemen redaksi masing-masing media massa.