Sabtu, 07 Juni 2008

Kekuasaan Komunikasi Massa

Saat ini, begitu gencarnya pemberitaan tentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebagai khalayak media massa kita "digempur" oleh kemasan pesan yang pro dan kontra. Media massa mengagendakan isu tersebut. Langsung atau tidak langsung khalayak telah menjadi "obyek" agenda media.

Menjadi pertanyaan, siapa pengendali isi media massa, sehingga menjadi berpihak? Pertanyaan berikutnya, bisakah media massa netral dalam menyikapi isu tertentu? Tulisan ini mencoba mengungkapkan hal itu dari perspektif kajian komunikasi massa.

Media massa mempunyai peran strategis dalam tatanan masyarakat. Media massa mampu membentuk suatu struktur masyarakat tertentu, mendukung suatu ideologi atau ajaran tertentu. Proposisi ini dapat kita lihat dari fenomena gencarnya penyajian berita kenaikan harga BBM. Media sebagai suatu institusi sosial memiliki kepentingan tertentu, yang terkandung dalam visi dan misi pendiriannya. Visi dan misi ini menentukan cara pandang dalam mengumpulkan, mengolah, dan mengungkapkan fakta atau pendapat dari sumber yang dikomunikasikan kepada khalayak.

Dengan demikian, media hanyalah sebagai alat mengonstruksi kepentingan tertentu untuk melegitimasi kekuasaan, baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya maupun religius. Dari semua legitimasi kekuasaan tersebut, yang paling tampak dalam bidang politik serta ekonomi.



Alat Kekuasaan

Kenyataan menunjukkan, media sering menjadi alat kekuasaan penguasa atau pengusaha. Oleh penguasa, media digunakan sebagai alat propaganda, penetrasi budaya, dan sosialisasi tentang penyelenggaraan kekuasaan politik, sehingga tidak heran kerja sama kepentingan politik sering terjadi antara elite politik dengan organisasi kepemilikan media massa. Kolaborasi ini untuk membangun struktur masyarakat, sebagaimana yang mereka inginkan dalam rangka melanggengkan kekuasaan.

Kenyataan ini terjadi di seluruh dunia. Hanya perwujudannya berbeda. Di negara otoriter atau junta militer kegiatan media massa di bawah "todongan senjata". Sedangkan di negara demokratis pemilik media massa turut serta dalam penentuan kebijakan kekuasaan politik. Di Indonesia, misalnya, saat ini terjadi kolaborasi antara penyelenggara kekuasaan politik dengan pemilik media, sehingga tidak heran jika pemilik media massa menjadi pengurus partai politik tertentu. Bahkan pemilik media massa juga memegang kekuasaan politik, seperti menteri. Selain itu, media massa boleh menjadi pendukung suatu partai atau kandidat pemegang kekuasaan politik. Pesan yang disajikan cenderung menumbuhkan citra positif dari program partai atau kandidat.

Dalam konteks komunikasi hal ini dikenal sebagai agenda setting. Media massa punya agenda tertentu dalam menyajikan pesan, baik dari sudut kuantitatif yaitu frekuensi dan durasi pemuatan, maupun dari sudut kualitatif, seperti, pendalaman dan penekanan materi pesan.

Dalam bidang kekuasaan ekonomi, boleh jadi pengusaha mengelola media massa dengan prinsip bisnis semata. Bagi pengusaha, media massa digunakan untuk mencari keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, institusi media dikelola dengan prinsip bisnis. Pada situasi ini, media massa dijalankan berlandaskan hukum ekonomi, yakni pengeluaran sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Bahkan mungkin mengesampingkan tanggung jawab sosial. Efisiensi menjadi suatu hal mutlak. Perhitungan antara pengeluaran dan pemasukan menjadi hal utama dan dilakukan secara ketat dalam penyajian pesan komunikasi massa. Misalnya, keputusan jadi-tidaknya suatu program acara diproduksi dan disiarkan di televisi sangat bergantung pada perhitungan rating acara tersebut. Semakin tinggi rating acara itu semakin terus diproduksi dan disiarkan. Oleh sebab itu, program acara yang rating-nya tinggi, sekalipun berakibat sebagai disfungsi media massa, tetap disiarkan untuk tujuan perolehan pendapatan melalui iklan. Melihat media massa sebagai sumber ekonomi, maka bisa saja terjadi perpindahan pemilikan modal dari investor yang satu ke investor yang lain. Industri media massa menjadi objek bagi investor dalam pasar modal.

Selain itu, pesan komunikasi massa secara tidak langsung dapat bertujuan ekonomi bagi penyelenggara media. Pemberitaan dalam bentuk investigasi, yang tampaknya idealis untuk membongkar struktur deviasi sosial, dapat menghasilkan iklan karena rating-nya tinggi.



Sulit Netral

Berdasarkan kepentingan pengendali kekuasaan tersebut amat sulit bagi media massa berperan netral mengungkapkan suatu peristiwa atau pendapat kepada khalayaknya. Media massa adalah sebuah alat. Sebagai alat ia pasti netral. Artinya, dapat digunakan sesuai yang diinginkan oleh yang mengendalikan alat tersebut, yaitu manusia atau organisasi manusia. Secara mendasar manusia tidak pernah obyektif secara penuh. Ia pasti berpihak pada kerangka pengetahuan dan pengalamannya, yang pada gilirannya menentukan kepentingannya. Seperti kata orang bijak the man behind the gun.

Banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang saratnya kepentingan dalam pesan komunikasi massa. Hitler menggunakan radio sebagai alat membakar semangat pasukan Jerman bertempur menghadapi tentara sekutu pada Perang Dunia II. Di Amerika Serikat, pernah dibuat suatu program radio yang mendorong semangat tempur pasukan negara itu di Vietnam. Di Indonesia, dikenal adanya pers perjuangan yang menentang penjajahan.

Terlepas dari pro dan kontra, teori kultivasi mengemukakan bahwa realitas televisi dianggap sebagai realitas yang sesungguhnya. Kejadian yang disajikan televisi dianggap sebagai representasi keadaan sesungguhnya di masyarakat. Hal ini pernah dialami oleh Indonesia menjelang runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Media massa dalam dan luar negeri mem-blow up tentang ketidakamanan di Jakarta, khususnya di wilayah Gedung DPR. Dari sajian media tersebut seolah-olah seluruh wilayah Jakarta sudah tidak aman. Padahal, pada saat itu di beberapa wilayah, bahkan sebagian besar wilayah, Jakarta masih aman.

Kemampuan lain media massa adalah menimbulkan efek langsung dan tidak langsung. Informasi kemacetan jalan yang disiarkan oleh stasiun radio, misalnya, dapat membuat pengemudi kendaraan mengambil jalur lain. Berbagai program acara atau rubrik yang disajikan media massa mampu membawa khalayak pada kondisi yang "terserang" oleh "peluru" yang disajikan itu. Namun, yang paling penting adalah efek tidak langsung, sesuatu yang terasa perlahan, namun pasti. Khalayak tidak sadar bahwa perilaku kesehariannya adalah proses peniruan (social learning) secara perlahan dari sajian pesan media massa.

Perilaku itu layak dilakukan karena sudah kebiasaan yang dilihat pada media massa dan didukung proses internalisasi dalam masyarakat. Dalam keadaan semacam ini telah terjadi proses penetrasi budaya tertentu, tanpa berpikir apakah itu sesuai dengan nilai yang dianut sebelumnya. Ini dapat kita lihat pada perilaku sosial terhadap mode pakaian atau rambut. Dengan penetrasi nilai melalui media, secara perlahan, namun pasti masyarakat tergiring pada pola nilai baru.

Dengan demikian, siapa yang mengendalikan pesan media massa dapat pula mengendalikan opini publik. Siapa yang mengendalikan opini publik dia pun akan memiliki kekuasaan. Hal ini berlaku dalam satu negara, hubungan bilateral, dan hubungan internasional atau global. Khusus pada hubungan global, pengendalian media massa sangat penting untuk menanamkan pengaruh global pada berbagai sektor kehidupan. Negara yang memiliki pengaruh global akan menikmati kekayaan dunia lebih besar dibanding dengan negara yang tidak memiliki pengaruh global

Tidak ada komentar: